Sabtu, 10 Januari 2015

Tiap Detik Menawarkan Pelajarannya Sendiri

17.52 WIB, The Library Cafe, Cream-Blue Jeans.

Dengan sisa-sisa dayaku, aku coba merenungkan ulang, bagian-bagian yang menjadi devosiku, mencoba untuk mereka-reka, bagaimana mungkin pelajaran ini dimulai ketika aku hampir menyelesaikannya? kenapa? bukankah apa yang ingin segera aku kerjakan itu bukan tentang diriku sendiri? bukankah apa yang ingin aku realisasikan itu telah melewati proses bergumul yang panjang?
Siang itu, malam itu, pagi itu, sampai berhari-hari, pertanyaan itulah yang ada dibenakku.
Sampai di satu titik, aku kehabisan daya dan putus asa. putus asa untuk melogikakan kondisi ini, menyerah untuk mencari alasan dan tawar menawar. semakin hatiku mencoba mencari alasan, semakin menguaplah damai sejahtera didalamnya. di titik itulah aku memutuskan untuk duduk, tertunduk dan bercerita. bercerita kepada Pribadi yang sangat aku kagumi dan aku hormati.
Cerita tanpa kata-kata itu menciptakan suatu rasa berserah, pengharapan dan damai sejahtera. Rasa ini menjadi awal untuk aku menguji keputusanku saat itu, menguji haruskah aku yang sudah terlambat satu semester ini, harus mengambil satu semester lagi? demi menaikkan IPK?

Bercerita tentang satu semester demi IPK, beberapa hari ini seperti persiapan perang bagiku.
Advanced Accounting, begitulah nama perangnya. Salah satu perang dari empat perang mematikan bagi mahasiswa akuntansi (baca: Introductory Auditing Practices, Thesis,
Comprehensive Examination). 'ah, mengetiknya saja membuat tanganku gemetar (hehehe).'
Pukul dua pagi tadi aku berencana mengistirahatkan tubuh dan otak yang telah terkuras selama sepuluh jam, niat satu jam itu akhirnya kebablasan sampai pukul enam pagi. Bangun dengan kondisi shock dan langsung menghitung berapa lama lagi waktu tersisa sebelum aku ujian. Aku memutuskan untuk memulainya dengan saat teduh terlebih dahulu.
Tamparan pertama yang Lukas 5:1-11 berikan bagiku adalah Pemahaman Petrus akan Yesus, yang membuatnya memanggilnya bukan lagi Guru tetapi Tuhan. 
Tamparan kedua titik balik dikehidupan ketiga murid membuat mereka mengambil keputusan besar dengan dasar yang besar dan keyakinan penuh untuk mengikuti sang Guru.
Tamparan terakhir yang menjadi perenunganku "ketika kita tahu siapa yang memanggil kita, niscaya kita akan mengikuti Dia sepenuh hati. bila kita belum berserah sepenuh hati, kita perlu bertanya, sudah seberapa jauh kita mengenal Dia?"
Hal ini menegur dengan sangat sehingga renunganku pagi ini di hiasi dengan pipi yang basah.
sesulit-sulitnya Advanced Accounting bagi mahasiswa akuntansi, aku tau hal ini tidaklah sesulit Petrus dan nelayan lain untuk percaya dan tunduk pada perintah Yesus. Petrus dan kawan-kawannya telah bekerja keras sepanjang malam, tetapi hasilnya nihil. Lalu bagaimana mungkin menjala ikan di siang hari, jika malam sebagai waktu terbaik tidak memberikan hasil apapun? Lagi pula, bagaimana mungkin seorang tukang kayu dan guru paham soal jala-menjala melebihi nelayan? Namun, Petrus mengalah. Yesus adalah Guru dan perkataanNya harus dipatuhi, walaupun pada akhirnya dia terbukti salah. Lompatan pengertian yang besar pada Petrus ketika dia memanggil gurunya Tuhan, membawanya  tersungkur mengaku dosa, karena telah enggan mematuhi perintah Sang Guru. Ia mengira dirinyalah yang ahli menjala ikan, tetapi saat itu ia melihat Yesus sebagai Tuhan yang berkuasa atas danau dan isinya.
ah, lalu bagaimana denganku?
aku yang jelas-jelas tau Yesus adalah Allah. Mengenal? benarkah aku sudah mengenalnya dengan benar?
aku yang mengalami Dia secara nyata.
aku yang setiap hari bisa mengenalNya melalui Firmanya.
Bagaimana mungkin aku bisa gagal dalam mengandalkan Allah dalam ujian Advanced Accounting seperti ini?
Seakan-akan akulah yang tau susahnya, Tuhan tidak tau.
Aku berjuang mati-matian, seakan-akan kekuatankulah yang akan menyelesaikan perang ini. Mengandalkan kekuatan sendiri menjadikanku seperti seorang pecudang pagi ini. 
Menjelang detik-detik ujian itu, aku belajar banyak hal, bersyukur banyak hal. Setidaknya masih berkesempatan untuk berserah dan memulai perang dengan kekuatanNya dan memohon pimpinanNya. Detik-detik itu menghantarkan pelajaranNya seperti aliran air yang segar ditengah gurun.
pukul 07.30 - 09.10 perang itu berlangsung...
"kalah atau menang, puji Tuhan dan bersyukurlah Ivana" dalam benakku ketika aku meninggalkan bangku ujianku.
Ketika kamu tidak bisa menyelesaikan perang karena waktu habis itu, menimbulkan rasa kesal karena merasa tidak maksimal lalu rasa itu berhujung pada kesedihan.
Ditengah kesedihan itu, pelajaran tadi pagi tentang Petrus menyelimuti pikiran dan hatiku. Bukan hanya itu, Amsal 17:17 kembali kualami ketika Mita (baca: adik kost, teman berantem, saksi sejarah hidup saya) sharing tentang renungannya pagi tadi.
"that God is too powerful, so there is nothing can not be changed by God"
ah, sejuk rasanya mendengarnya.. :)
Allah yang sama juga bisa memberikan hasil yang terbaik untuk perang ku tadi. tapi, bukan inilah yang menjadi alasanku untuk merasa sejuk. melainkan, kebesaran Allah itu yang menjadi dasar. dasar bahwa tidak akan ada yang terjadi diluar daulatNya. dasar bahwa rancanganNya hanya yang terbaik bagi ku. :)
"do the best, and let God do the rest"
Yaa....
Begitulah detik-detik menawarkan pelajarannya pada ku hari ini..
Begitu pula besok, lusa, dan seterusnya..
Pilihan kitalah yang menjadikan setiap detik menjadi proses pertumbuhan atau pelajaran yang berlalu tanpa makna..

 Teman sang jari ketika menari, penyemangat Imajinasi saat merajut.



ceritanya candid (: taken by Mita
(P. S. pengen lihat gambar aja ada usaha, apa lagi hidup. Hidup yang berkualitas lagi *wink*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar