Selasa, 27 Januari 2015

Kenapa harus aku yang bodoh ini (?)

Kamar Kost, 00.00, Black and Black.
Diusiaku saat ini, bukanlah hal yang gampang untuk hidup free tanpa pikiran, enjoy asik ala-ala ABeGe.
Lulus SMA 2009, baru kuliah 2010, 2015 masih belum maju sidang, dan beberapa cerita-cerita kecil didalamnya, adalah kondisi yang cukup pekat menurutku, tidak dipungkiri ada masa-masa depresi didalamnya.

Malam ini, sisi melankolisku mendorongku untuk menulis beberapa hal yang cukup berat untuk terus aku pertahankan dalam kondisiku saat ini.
Yang paling berat untuk aku pertahankan saat ini adalah KTB ku dengan adik-adik...
Berat dalam kondisi seperti ini:
Menjadi kakak yang selalu care, disaat care untuk diri sendiri aja lupa.
Senyum tepat pada waktunya, mood untuk senyum aja ga punya.
Mengatakan "it's okey dek, kamu bisa", ditengah keminderan pada diri sendiri.
"ayok, kapan kita belajar bareng?", ditengah kesulitan diri mengatur waktu belajar.
"ayo kapan bisa KTB, disaat waktu untuk PA pribadipun cukup sulit ditemukan.
Ada banyak hal berat yang harus tetap dilakukan dalam kondisi saat ini, dan yang paling berat dari semua hal diatas adalah ketidakmampuan untuk tidak melakukannya.
Berat untuk tidak care, tidak tersenyum, tidak menyemangati, tidak mengejar kekonsistenan KTB, tidak mendampingi mereka. Berat untuk tidak mengerjakan hal yang memang seharusnya dikerjakan ini, sekalipun sering merasa terhakimi dengan perasaan akan diri yang munafik ini.
Malam ini, jadi teringat lagi ketika kak Meichelani (kakak bimbing pertamaku) bilang: "nanti, ketika kamu sudah jadi kakak bimbing, akan ada waktunya dimana seakan-akan Tuhan tidak mengijinkanmu untuk memikirkan dirimu, seakan-akan hanya boleh memikirkan dia, dan mereka."
Hahaha, aneh rasanya mengingat hal itu, ketika yang dikatakan itu terjadi.

Terberat kedua, tetap ada visi yang begitu kuat, yang menyeretku untuk mengerjakannya.
Ditengah rasa capek ini, ada sukacita yang begitu luar biasa disekujur tubuhku, ketika bisa mengajar anak-anak les gratis bahasa inggris.
Ditengah kebodohanku, aku diberi kesempatan mengajari mereka. Senang rasanya, ketika mereka mengerti, lalu berebutan menunjukkan hasil pekerjaan mereka sambil berkata "kak, kaya gini kan?", "kak, aku benar kan?", atau ketika ada yang diam, lalu setelah dihampiri dan diajari, ekspresi mukanya berubah, lalu berkata "aku bisa kak".
Ahh, senangnya hati ini, seakan-akan lupa, kalau diumur ke-23 tahunku, aku belum wisuda.

Terberat ketiga, setiap hari harus memikirkan, bagaimana caranya mendapatkan dana? Disaat kebutuhan untuk diri sendiri aja dicukup-cukupkan dan terkadang tak terpikirkan, aku harus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan Rp 2**.000.0000,- ?
Merekap pendapatan, jualan yang terkadang harus pake muka tembok, mikir ide jualan, nyatat, rekap uang, mikir, nyatat, masak, antar pesanan makanan, rekap uang. Jujur, kalau bukan mengingat nilai kekal dan esensi tujuan dari apa yang aku kerjakan sekarang, mungkin bendera putih sudah terangkat sekarang.

Terberat berikutnya, tidak memikirkan (mengkhawatirkan) mereka yang memikirkanmu (mengkhawatirkanmu).
Menjaga kepercayaan mereka yang mempercayaimu.
Bertanggung jawab atas hal yang tidak selayaknya diberikan padamu.

Lalu, ditengah tulisan ini, aku teringat bagaimana Yesus berdoa sampai mengeluarkan peluh yang 'seperti' ataukah 'memang' darah (?)
Betapa tidak terbandingkannya apa yang kuanggap berat saat ini, dengan apa yang ditanggungNya 2000 tahun yang lalu.
Proses yang berat bagiku saat ini, pada akhirnya aku pula yang akan merasakannya, dan menikmati hasilnya.
Tapi, beban berat yang harus ditanggungNya saat itu bukanlah karena salahnya, dan bukanlah untuk kepentingan diriNya, melainkan untuk ku, dan kamu.
Karena dosaku, dan dosamu.

Mati untuk diri sendiri, bukanlah hal yang mudah kawan.
Sering kali yang kita lakukan ditengah kesulitan semua proses ini adalah lari. Lari dari kenyataan, dan mencoba menghipnotis diri sendiri. Seakan-akan mau bilang "aku baik-baik saja kok, hubunganku padaNya aman-aman saja kok, tapi diujung kalimat ada kata-kata tapi bohong."

Terkadang aku heran akan dalam dan lebarnya kesabaranNya padaku. Seperti Rajawali yang menangkap anakNya ketika belajar terbang, Allah selalu sigap dan pasti.
Ditengah kelabilan, pelarian, dan ketidaksetiaanku pun Dia selalu kudapati setia.
Hari ini, didalam ketidaksetiaanku aku bertanya padaNya "kenapa harus seberat ini Tuhan, kenapa harus orang bodoh dan berkapasitas kecil seperti saya?"
Lalu, malam ini didalam kesetiaanNya, dia menjawab melalui status saudara KTB saya.


"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna"
(2 Kor 12:9a)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar